Jumat, 22 Februari 2013

Pembunuh Anak Selo Nababan Ternyata Perempuan

Tersangka Santi Magdalena br Manurung (39) yang diduga menculik dan membunuh bocah Selo Nababan juga memiliki seorang anak kecil berusia 8 bulan. Polisi masih menyelidiki motif pelaku hingga tega menculik dan membunuh korban.

Kapolda Sumatera Utara (Sumut) Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro menyatakan, status tersangka yang juga memiliki anak kecil ini memunculkan pertanyaan bagaimana dia tega membunuh Selo yang masih berusia empat tahun. Itu sebabnya kejiwaan Santi akan diperiksa.

"Dia kan punya anak bayi juga. Saya tidak mengerti juga bagaimana perasaannya. Dia kan melahirkan anak, masak tega dia. Kondisi kejiwaannya akan kita periksa," kata Wisjnu kepada wartawan, Jumat (22/2/2013) di Mapolres Deli Serdang di Lubuk Pakam.



Saat ditangkap pada Kamis (21/2/2013) Santi dan suaminya Amon Sitinjak (41) turut membawa anak mereka ke Polres Deli Serdang. Namun menjelang tengah malam, anak yang masih menyusu pada ibunya itu dijemput keluarga untuk dibawa pulang.

Santi dan suaminya Amon Sitinjak (41) ditangkap Polres Deli Serdang di rumahnya pada Kamis (21/2/2013) sore. Mereka merupakan tetangga keluarga korban di Dusun VII, Desa Pagar Jati, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang.

Santi yang diduga menjadi pelaku utama dalam kasus penculikan dan pembunuhan terhadap Selo Nababan (4) sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan suaminya masih berstatus saksi.

Selasa, 19 Februari 2013

Sniper Masa Perjuangan Indonesia

Kiprah penembak jitu (penembak runduk/sniper) Nusantara telah dikenal sejak perang Aceh pada abad ke 19. Berkat didikan tentara Jepang yang biasa bertempur dengan kondisi serba minim, para prajurit "Siluman" itu banyak berperan saat revolusi fisik 1945-1949.
 
Cukup sulit menentukan kapan ilmu tembak runduk (sniping) mulai dikenal oleh para prajurit di Nusantara. Minimnya catatan sejarah mengenai ini, baik dari masa Hindia Belanda, Jepang, maupun pasca Poklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, membuat upaya penelusuran poses tumbuh dan berkembangnya ilmu tembak runduk di tanah air laksana mencari sebatang jarum di tengah onggokan jerami. 

Kerterlibatan para penembak runduk (sniper) di dalam sebuah petempuran hampir bisa dipastikan dibayangi aroma kerahasiaan sebagai dampak budaya "ambil jalan pintas" yang acap diambil para komandan pasukan. Dalam situasi seperti ini, jangan harap bakal ada selembar catatan terbuka soal terlibatnya penembak runduk. 


Sejak bercokolnya Belanda di Bumi Pertiwi pada abad ke 17, ratusan konflik bersenjata banyak terjadi. Kala itu pola pertempurannya masih diwarnai gaya baku bunuh di Abad Pertengahan. Kedua belah pihak yang bertikai saling berbenturan secara frontal dalam jarak dekat. Dalam situasi seperti ini tak hanya prajurit rendahan bahkan perwira tinggi sekelas Jenderal pun bakal berkesempatan melihat wajah pembunuhnya disaat detik-detik akhir maut menjemputnya.

Kian intensnya peran senjata api semasa pergolakan menentang Belanda pada abad Ke 18 dan 19 membuat beragam senjata api banyak beredar di tangan sejumlah kelompok perlawanan. Sayang, penggunaannya belum maksimal mengingat kesulitan kelompok perlawanan memperoleh amunisinya. Terbukti dari uraian dalam laporan kematian para perwira pasukan kolonial Hindia Belanda yang kebanyakan tewas akibat senjata tajam atau tembakan jarak dekat.
Jendral Kohler
Mungkin satu-satunya aksi tembak runduk kelompok perlawanan yang secara resmi diakui rejim kolonial adalah insiden tewasnya Mayor Jenderal JHR Kohler di depan Mesjid Raya Baitul Rachman, Kutaraja (kini Banda Aceh) pada tanggal 14 April 1873. Saat itu pasukan ekspedisi Belanda berkekuatan sekitar 5.000 orang yang telah sembilan hari menyerang Kesultanan Aceh berhasil mendobrak pertahanan Laskar Aceh di Mesjid Raya dan kemudian membakarnya hingga ludes.

Kohler yang tengah mengadakan inspeksi situasi palagan hendak beristirahat di bawah sebuah pohon yang berjarak sekitar 100 meter dari mesjid. Mendadak sebuah tembakan meletus dan mengenai tepat di kepalanya hingga membuat Kohler tewas seketika. Pelakunya, yang kemudian di berondong pasukan Belanda, ternyata seorang remaja Laskar Aceh berusia 19 tahun yang bersembunyi di reruntuhan mesjid.


Di lain pihak, Laskar Aceh sendiri sempat merasakan betapa ampuhnya sengatan penembak runduk. Salah satu tokoh, Teuku Umar, tewas dihajar sebutir peluru emas milik seorang penembak runduk dari satuan elit Marechaussee di pantai Sua Ujung Kuala. Saat itu Teuku Umar tengah merencanakan penyerbuan terhadap kota Meulaboh pada dini hari tanggal 11 Februari 1899.

Heiho parade didalam kota
Tatkala pasukan Dai Nippon mulai merebut satu demi satu wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada periode awal Perang Pasifik tahun 1942, saat itu ilmu tembak runduk seperti yang kita kenal sekarang mulai dikenalkan para samurai Tenno Haika.

Guna membuat pertahanan pasukan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) di suatu lokasi morat marit, para satria kate dengan bertengger di atas pohon dan bermodal senapan standar Arisaka tipe 30 atau 38 (keduanya berkaliber 6,5 mm) menghabisi satu demi satu para perwira KNIL, dengan sebutir peluru tepat di kepalanya atau bagian vital lainya. Begitu si opsir tewas, anak buahnya seketika ambil langkah seribu. Tak jarang mereka harus terima nasib "menyusul" komandannya ke alam baka dengan cara sama meski telah sekuat tenaga berlari menjauhi lokasi pertempuran.

Dalam beraksi para penembak runduk Jepang tak hanya dibekali senapan standar. Sejumlah kesatuan di jajaran Angkatan Darat kekaisaran Jepang sempat kebagian senapan Arisaka tipe 97. Hakikatnya, senjata ini merupakan pengembangan Arisaka tipe 38 untuk memenuhi kebutuhan tembak runduk yang sejati. Perbedaan kasat mata diantara keduanya terutama sekali pada penempatan teropong bidik dengan perbesaran 2,5 kali diatas kamar peluru senapan tipe 97. Belakangan posisi tipe 97 digeser tipe 99 dengan kaliber 7,7 mm dengan skala perbesaran teropong bidik empat kali.

Bercokolnya pasukan Jepang selama 3,5 tahun membawa dampak yang amat luas pada berbagai sendi kehidupan di Tanah Air. Terutama sekali dari segi militer. Kian menipisnya sumber daya manusia memaksa pasukan Jepang merekrut banyak tenaga muda pribumi dari semua wilayah taklukannya, termasuk Indonesia.

Ribuan pemuda dilatih ilmu kemiliteran guna disiapkan menjadi personil Heiho dan PETA. Jika para Heiho (yang berarti pembantu prajurit) diberi kesempatan merasakan ganasnya api peperangan di berbagai palagan Perang Pasifik, tak demikian dengan personil PETA. biarpun telah di gembleng dengan amat kerat di Giyugun Rensetai (semacam pusdiklat) PETA di Bogor, mereka harus puas hanya kebagian tugas sebagai Bo-ei Giyugun Chiho atau sebagai pasukan pertahanan lokal.

Semasa awal latihan, para calon personil Heiho dan PETA diajari memakai aneka senjata tua yang dirampas dari pasukan KNIL seperti karaben Hamburg kaliber 6,5 mm dan senapan mauser Kav 1889 kaliber 7,92 mm. Setelah dianggap mahir baru beralih ke senjata standar tentara Jepang sendiri dari jenis Arisaka tipe 30 dan 38.

Siswa yang berbakat akan diarahkan menjadi seorang penembak runduk yang akan dikirim ke garis depan. Di perkirakan jumlah pemuda Indonesia yang beruntung mengeyam pendidikan senapan runduk versi Jepang hanya sekitar 70 orang. Tambahan lagi, pendidikan mereka baru selesai dikala pasukan Jepang sudah mulai terdesak Sekutu disejumlah tempat.


Peruntukan boleh saja beda, namun landasan ilmu kemiliteran yang terlanjur diserap kedua satuan paramiliter bentukan Jepang itu toh tetap sama. Antara lain kemampuan bertahan hidup di hutan lebat dan bertempur secara gerilya dengan bekal amunisi minim. Dibarengi disiplin total, dengan sendirinya para remaja didikan Jepang ini tanpa sadar telah terbiasa menjadi penembak runduk alami. Falsafah "satu peluru satu nyawa" telah meresap kedalam jiwanya. Sebuah kebiasaan yang terasa sekali manfaatnya dalam perang mempertahankan kemerdekaan 1945-1949.

Modal awal berbagai badan perjuangan yang di bentuk pada September 1945, siapa lagi kalau bukan para pemuda didikan Jepang tersebut. Biar hanya berbekal senjata tua bekas KNIL dan Jepang, para pemuda tetap menghadang gerak maju pasukan Inggris dan Belanda di berbagai wilayah. 


TKR
Pertempuran sengit di Surabaya dan Ambarawa (1945), pihak Inggris sempat mengerahkan pasukan elit Gurkha yang telah banyak menyerap taktik perang rimba dan tembak runduk model Jepang. Alhasil dalam beberapa pertempuran sempat terjadi duel antar penembak runduk Gurkha dengan "rekan sejawat" dengan satuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) . Hebatnya lagi, duel tadi acap kali terjadi bukan hanya di permukaan tanah tapi juga sampai di atas pepohonan lebat.

Selama berkobarnya Perang kemerdekaan 1 dan 2, tak hanya penembak runduk saja namun kebanyakan pasukan TRI (TNI) seta anggota Laskar kejuangan lainnya terpaksa harus bertempur dengan modal peluru sangat minim. Berbulan-bulan mereka harus kucing-kucingan dengan pasukan Belanda, tapi peluru dikantong tak lebih 10 butir.

Akibatnya dalam setiap baku tembak bisa ditebak suara berondongan tembakan selalu datang dari posisi pasukan Belanda yang suka obral peluru. Sementara tembakan di pihak Republik hanya terdengar sesekali. Biarpun begitu, tembakan tunggal pihak Republik bikin ciut nyali para sinyo Koninklijke Leger (KL). Pasalnya, tiap tembakan "kaum ekstrimis" itu tak pernah meleset dan selalu minta korban jiwa diantara rekan-rekannya.

Hanya berkat semangat juang yang tinggi plus segudang akal cerdiklah para personil gerilyawan Republik mampu bertahan dalam kondisi serba pas-pasan sehingga tercapainya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada bulan desember 1949.(Santoso Purwoadi)


Sumber : http://garudamiliter.blogspot.com/2012/03/ilmu-siluman-warisan-samurai.html

Ikan Belido Atau Ikan Belida (Notopetrus Chitala HB)

Masyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing dengan nama ikan Belida (ada yang menyebutnya Belido). Apalagi para penggemar kuliner Pempek Palembang berikut kremesannya berupa kerupuk kemplang dan lain-lain. Menurut masyarakat Sumatera Selatan, Belida artinya makhluk yang pandai berdiplomasi (be = punya, lida = lidah, pandai bersilat lidah). Tapi ternyata ikan asli Indonesia ini Semarang sudad diambang kepunahan, sebabnya selain konsumsi terhadap ikan ini semakin meningkat, upaya konservasi masih sangat kurang.

Istilah Indonesia: Belida, Lopis, Balida, Belido

Nama: Belida (Notopetrus Chitala HB)
 
Ciri-ciri:
Berukuran sedang, panjang maksimum 100 cm dan berat rata-rata 0,5-1 kg, di alam asli bisa mencapai 2 - 4 Kg. Bentuk badannya pipih dengan kepala yang berukuran kecil dan di bagian tengkuknya terlihat bungkuk. Rahang atas letaknya jauh di belakang mata. Badan tertutup oleh sisik yang berukuran kecil. Sisik di bagian punggungnya berwarna kelabu sedangkan di bagian perutnya putih keperakan.

Pada bagian sisinya terdapat lingkaran putih seperti bola-bola hitam yang masing-masing dikelilingi lingkaran putih. Dengan bertambahnya umur hiasan tubuh ikan belida akan hilang dengan sendirinya dan diganti oleh garis-garis kehitaman, sistem reproduksi ikan ini dengan bertelur. Merupakan ikan air tawar yang bersifat predator atau pemangsa dan nokturnal (aktif pada malam hari).

Pada siang hari biasanya bersembunyi diantara vegetasi. Makanannya berupa anak-anak ikan dan udang. Tak jarang mangsanya berukuran lebih besar. Ikan belida jantan bertugas membuat sarang yang dibuatnya dari ranting dan daun, juga menjaga telur dan anak-anaknya. Ikan belida dapat menghirup udara dari atmosfir. Ikan karnivora ini hidup di kedalaman 2-3 meter di tempat-tempat gelap. Saat air sungai meluap, mereka naik ke rawa-rawa untuk kawin dan melepas telurnya di sana.


Taksonomi: Isospondyli, Suku Notopterridae

Habitat: Sungai-sungai besar dan daerah yang sering tergenang banjir. Di daerah dataran rendah tidak lebih dari 30 m dpl.

Penyebaran: Sumatera, pernah ditemukan di Jawa dan Kalimantan.

Populasi: Langka !!!

Regulasi:
Belum dilindungi Undang-Undang (Padahal sudah masuk kondisi kritis kepunahan)

Upaya Konservasi:
Kolam, Aquarium dan Keramba.

Behavior
Malam, ikan ini Nokturnal (aktif di malam hari)

Bisa Dikonsumsi ?
Bisa, tapi mengingat populasinya yang semakin langka sebaiknya jangan. Ikan ini harus bisa dipertahankan sebagai kekayaan hayati perairan Nusantara.

Sumber:http://www.fishyforum.com/

Mengenal Musang Luwak

Musang luwak adalah hewan menyusu (mamalia) yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae). Nama ilmiahnya adalah Paradoxurus hermaphroditus. Hewan ini juga dipanggil dengan berbagai sebutan lain seperti musang (nama umum, Betawi), careuh (Sunda), luak atau luwak (Jawa), serta common palm civet, common musang, house musang atau toddy cat dalam bahasa Inggris.

Musang luwak adalah salah satu jenis mamalia liar yang kerap ditemui di sekitar pemukiman dan bahkan perkotaan. Hewan ini amat pandai memanjat dan bersifat arboreal, lebih kerap berkeliaran di atas pepohonan, meskipun tidak segan pula untuk turun ke tanah. Musang juga bersifat nokturnal, aktif di malam hari untuk mencari makanan dan lain-lain aktivitas hidupnya.

Dalam gelap malam tidak jarang musang luwak terlihat berjalan di atas atap rumah, meniti kabel listrik untuk berpindah dari satu bangunan ke lain bangunan, atau bahkan juga turun ke tanah di dekat dapur rumah. Musang luwak juga menyukai hutan-hutan sekunder. Musang ini kerap dituduh sebagai pencuri ayam, walaupun tampaknya lebih sering memakan aneka buah-buahan di kebun dan pekarangan. Termasuk di antaranya pepaya, pisang, dan buah pohon kayu afrika (Maesopsis eminii). Mangsa yang lain adalah aneka serangga, moluska, cacing tanah, kadal serta bermacam-macam hewan kecil lain yang bisa ditangkapnya, termasuk mamalia kecil seperti tikus.

Di tempat-tempat yang biasa dilaluinya, di atas batu atau tanah yang keras, seringkali didapati tumpukan kotoran musang dengan aneka biji-bijian yang tidak tercerna di dalamnya. Agaknya pencernaan musang ini begitu singkat dan sederhana, sehingga biji-biji itu keluar lagi dengan utuh. Karena itu pulalah, konon musang luak memilih buah yang betul-betul masak untuk menjadi santapannya. Maka terkenal istilah kopi luwak dari Jawa, yang menurut ceritera dari mulut ke mulut diperoleh dari biji kopi hasil pilihan musang luwak, dan telah mengalami ‘proses’ melalui pencernaannya.



Akan tetapi sesungguhnya ada implikasi ekologis yang penting dari kebiasaan musang tersebut. Jenis-jenis musang lalu dikenal sebagai pemencar biji yang baik dan sangat penting peranannya dalam ekosistem hutan.
Pada siang hari musang luwak tidur di lubang-lubang kayu, atau jika di perkotaan, di ruang-ruang gelap di bawah atap. Hewan ini melahirkan 2-4 anak, yang diasuh induk betina hingga mampu mencari makanan sendiri.

Sebagaimana aneka kerabatnya dari Viverridae, musang luwak mengeluarkan semacam bau dari kelenjar di dekat anusnya. Samar-samar bau ini menyerupai harum daun pandan, namun dapat pula menjadi pekat dan memualkan. Kemungkinan bau ini digunakan untuk menandai batas-batas teritorinya, dan pada pihak lain untuk mengetahui kehadiran hewan sejenisnya di wilayah jelajahnya.

Manfaat Daun Sirsak Untuk Penyakit

Manfaat Daun Sirsak atau nangka belanda adalah menghambat dan mematikan perkembangan sel kanker. Manfaat Daun Sirsak sebagai obat herbal daun sirsak tidak kalah dengan pengobatan modern, bahkan menurut penlitian pengobatan dengan ramuan herbal daun sirsak ini terbukti 10.000 kali lebih kuat dibanding dengan kemoterapi modern untuk melawan sel kanker dalam tubuh.

Manfaat Daun Sirsak
Ramuan obat tradisional daun sirsak dapat menangani dan mencegah penyakit kanker, mungkin itu salah satu pertanyaan yang muncul dibenak kita, jawabnya adalah karena daun sirsak mengandung sebuah senyawa acetogenins (senyawa anti kanker) dimana zat tersebut dapat menghambat pertumbuhan ATP (Adenosina Trifosfat) yang merupakan sumber energi pertumbuhan sel kanker, dengan kata lain apabila ATP sudah dihambat lama-kelamaan pasti sel kanker dalam tubuh akan mati karena tidak mendapat energi.


Menurut hasil penelitan di Amerika belakangan ini ternyata daun sirsak sangat bagus untuk dijadikan kemoterapi traidisional untuk melawan kanker, beberapa kanker yang dapat disembuhkan oleh daun sirsak ini adalah kanker payudara, kanker usus, kanker ovarium,liver, paru-paru, prostat, pankreas dan limpa. Selain dapat mengobati kanker daun sirsak juga dapat menyembuhkan beberapa penyakit lain seperti reumatik, hipertensi, diabetes, cacingan, demam, disentri, asma dan gangguan pencernaan lainnya

Manfaat Daun Sirsak untuk Kanker
10 lembar daun sirsak yg tua direbus dengan 3 gelas air hingga tersisa 1 gelas, minum 2 kali per hari selama 2 minggu. Daun sirsak ini katanya sifatnya seperti kemoterapi, bahkan lebih hebat lagi karena daun sirsak hanya membunuh sel sel yang tumbuh abnormal dan membiarkan sel sel yang tumbuh normal

Manfaat Daun Sirsak untuk Sakit Pinggang
20 lembar daun sirsak, direbus dengan 5 gelas air sampai mendidih hingga tinggal3 gelas, diminum 1 kali sehari 3/4 gelas.

Manfaat Daun Sirsak untuk Bayi Mencret
Buah-sirsak yang sudah masak. Buah sirsak diperas dan disaring untuk diambil airnya, diminumkan pada bayi yang mencret sebanyak 2-3 sendok makan.

Manfaat Daun Sirsak untuk Ambeien

Buah sirsak yang sudah masak. Peras untuk diambil airnya sebanyak 1 gelas, diminum 2 kali sehari, pagi dan sore.

Manfaat Daun Sirsak untuk Bisul
Daun sirsak yang masih muda secukupnya, tempelkan di tempat yang terkena bisul.

Manfaat Daun Sirsak untuk Anyang-anyangen
Sirsak setengah masak dan gula pasir secukupnya. Sirsak dikupas dan direbus dengan gula bersama-sama dengan air sebanyak 2 gelas, disaring dan diminum.

Manfaat Daun Sirsak untuk Sakit Kandung Air Seni
Buah sirsak setengah masak, gula dan garam secukupnya. Semua bahan tersebut dimasak dibuat kolak. Dimakan biasa, dan dilakukan secara rutin setiap hari selama 1 minggu berturut-turut.

Manfaat Daun Sirsak untuk Penyakit Liver
Puasa makanan lain, hanya minum juice sirsak selama 1 minggu

Manfaat Daun Sirsak untuk Eksim dan Rematik
Tumbuk daun sirsak sampai halus dan tempelkan di bagian yang sakit

Manfaat Bunga sirsak
Bunga sirsak dapat digunakan utk menyembuhkan katarak tapi bagaimana penggunaannya saya belom tau. Kalo saya sudah dapatkan resepnya akan saya tambahkan di sini.

Ekstrak sirsak merupakan cara yang sangat sederhana untuk mengobati kanker, mengingat kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya bagi kita bahkan menyebabkan kematian, tidak ada salahnya bagi seseorang yang menderita kanker selain melakukan pengobatan kemoterapi secara modern juga mencoba ramuan kemoterapi tradisional dari daun sirsak ini karena kesehatan tubuh adalah jenis dari kesehatan tubuh kita yang utama.

Cara buat ramuan herbal dari daun sirsak

Ambil 10-15 lembar daun sirsak yang masih segar dan berwarna hijau tua lalu cuci hingga bersih
Siapkan 3 gelas air putih bersih
Rebus daun sirsak dengan air tersebut hingga kira-kira air sekitar tinggal 2 gelas saja
Minum sisa air rebusan tersebut 2 kali sehari sebagai ramuan herbal

Kamis, 07 Februari 2013

Eksotik Papua

Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela. Sebenarnya, struktur Honai dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai, Honai memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai). Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang.Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu



Suku kamoro papua


Suku Kamoro adalah salah satu suku asli kabupaten Mimika, suku ini bermukim di wilayah dataran rendah (low-land) sebagian besar di pantai sepanjang kali dan menyusuri pantai. Termasuk kelompok masyarakat yang hidup dari meramu, memanfaatkan alam sekitar , memanfaatkan pohon sagu sebagai sumber makanan utama, dan hasil laut. Memiliki rasa seni yang termasuk tinggi diantara suku-suku di Papua, terutama seni ukir. Berpostur tubuh yang tinggi sehingga mudah dibedakan dengan suku lain. Berburu hasil laut seperti ikan, udang dan kepiting (karaka) menjadi usaha sehari2. Apalagi kepiting cukup banyak tersedia di sekitar hutan bakau sepanjang kali dan pantai, menjadikan kepiting sebagai cendera mata atau oleh2 yang bisa di bawa pulang oleh pangunjung dari wilayah lain.

Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang 300 km pesisir selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Dari segi bahasa, mereka bersaudara dengan suku Asmat  yang tinggal di sebelah timur yang sangat terkenal karena kesenian mereka.

Suku amungme papua

Orang Amungme memang orang gunung (High-Land)  yang tidak bisa dilepaskan dari gunung, hutan, sungai dan tanah. Bagi orang Amungme tanah mempunyai arti begitu menyatu dan mendalam dengan kehidupan lahir batinnya dan mengidentifikasikan tanah sama dengan ibunya. ORANG Amungme adalah pejalan kaki tangguh. Mereka terbiasa naik turun gunung sambil membawa beban. Alam sudah membentuk otot kaki mereka menjadi kuat. Saat menempuh perjalanan mereka hanya membawa wi (tas) berisi rokok, pisau dan ubi.


Suku Amungme adalah bagian dari suku bangsa di Papua yang mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika.

Secara harafiah Amungme terdiri dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia, menurut legenda yang diwariskan turun temurun, konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang.

Orang Amungme percaya bahwa mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih). Orang Amungme berasal dari suku Damal, keluarga besar eogam-e, anak sukunya adalah suku Delem yang hidup di sepanjang sungai Memberamo.

Tingkah laku dan watak orang Amungme identik dengan alamnya, mereka menggangap dirinya penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan). Kerasnya alam pegunungan telah membentuk karakter masyarakat Amungme menjadi keras, non kompromi, fair dan gentlemen serta selalu melakukan tindakan preventif dalam segala aktifitas.

Bahasa daerahnya ada dua yaitu Amung-kal yang digunakan oleh orang Amungme yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk orang Amungme yang hidup di sebelah utara, selain itu suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yang berbeda dengan bahasa komunikasi sehari-hari yaitu Aro-a-kal adalah jenis bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal sebagai jenis bahasa simbol yang hanya diucapkan sewaktu berada di wilayah tertentu yang dianggap keramat.

Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka.

Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.

Sebagai warga suku Amungme telah menetap di kota Timika dan sekitaranya karena proses permukiman kembali oleh PT. Freeport Indonesia (PTFI), selain larangan membuka perkampungan di dekat lokasi penambangan menyebabkan mereka bermigrasi ke Timika sebagai alternatif mencari pekerjaan. Penduduk Amungme khususnya yang berasal dari pegunungan Jayawijaya, telah mendapatkan fasilitas perumahan serta lahan perkebunan dari PTFI. Namun banyak pula yang akhirnya memilih tetap tinggal di kampung-kampung di sekitar pertambangan, yakni Kampung Banti, Waa, Tsinga, Arwanop

Umumnya suku Amungme telah menggunakan uang tukar resmi (rupiah) sebagai alat jual-beli, tidak lagi menggunakan sistem barter. Barang-barang yang dijual masih sangat terbatas, seperti: makanan pokok; petatas, keladi, umbi-umbian, minyak goreng, sayur-mayur, alat jahit-menjahit sederhana, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari lainnya seperti garam, sabun dan rokok.

Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian Utara, yaitu di daerah pegunungan masih menggunakan eral.

Eral sendiri adalah sistem tukar - menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme, berupa kulit bia (siput). Kulit bia ini diperoleh dengan tukar-menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku.

Mata pencaharian suku Amungme umumnya berburu karena ditunjang faktor alam dengan berbagai jenis flora yang tumbuh lebat dan terdapat berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk, kakaktua, dll, bertani dan bercocok tanam serta beternak, banyak di antara mereka telah bekerja di kota sebagai pedagang, pegawai maupun karyawan swasta. *